Dugaan Perda Ilegal Dalam Pusaran ‘Desa Hantu’ di Kabupaten Konawe

Kendari, Sorotsultra.com – Dana Desa yang seyogyanya untuk menggairahkan denyut pembangunan di desa sesuai yang dijawantahkan oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, kini harus tercoreng setelah ditemukan penyimpangan dalam penyalurannya ke desa-desa yang ternyata belum terdaftar secara administratif atau sekarang ramai disebut sebagai ‘Desa hantu’.

Istilah tersebut pertama kali mencuat setelah Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, membeberkan temuannya saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, tentang adanya beberapa desa yang tidak berpenghuni namun tetap menerima bantuan dana dalam beberapa tahun terakhir, dan ia mengistilahkannya sebagai ‘Desa hantu’.

Setelah ditelusuri oleh tim gabungan Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra) bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditemukanlah beberapa desa yang ternyata cacat secara administrasi, diantaranya Desa Uepai dan Desa Morehe di Kecamatan Uepai, serta Desa Ulu Meraka di Kecamatan Onembute, yang semuanya berada di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

Menaggapi hal itu, Mastri Susilo, S.Pd., Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sultra, saat dimintai keterangan di ruang kerjanya, Jum’at (8/11/2019), menjelaskan bahwa hal mendasar dari persoalan desa hantu di Konawe adalah karena diduga digunakannya Peraturan Daerah (Perda) Fiktif.

Baca Juga :  Manajemen PLTU Nii Tanasa Dianggap Belum Serius Dalam Mengakomodir Tuntutan Hippmala

“Asal-muasalnya yakni pada saat Pemda Konawe melakukan pengusulan 52 Desa Definitif, namun setelah dievaluasi ternyata ada beberapa Desa yang belum memenuhi syarat, karena Perda, peta dan batas-batas desanya belum ada, sehingga Pemprov meminta perbaikan ke Pemerintah Daerah Konawe sebelum diajukan ke Mendagri, dan akhirnya terbitlah Perda No. 7 Tahun 2011 itu,” paparnya.

Ia melanjutkan, “Desa fiktif ini menggunakan Perda No. 7 yang diduga palsu sebagai Legal Standing, yang peruntukannya sebenarnya bukan untuk pemekaran desa, namun terkait tentang keuangan, bahkan lebih fatalnya lagi hal itu tidak pernah disetujui oleh DPRD Konawe.”

“Kami berharap, pihak kepolisian dalam hal ini Polda Sultra dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia (RI), untuk menindaklanjuti secara profesional persoalan ini, karena telah mencederai semangat transformasi sosiokultur dalam program pembangunan desa, yang manfaatnya dapat dinikmati oleh masyarakat luas,” tukasnya. (RED)