Perusahaan Penambang Leluasa Mengeruk Nikel Tanpa Pengawasan, Rakyat dan Lingkungan Pulau Kabaena jadi Korban

Sorotsultra.com, Sultra-Imbas Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.465/Menhut-II/2011 yang mengubah status hutan di Pulau Kabaena dari hutan lindung menjadi hutan produksi membuka pintu bagi perusahaan tambang untuk masuk melakukan penambangan secara membabi buta. Senin (25/11). 

Tercatat, 40% dari izin usaha pertambangan yang diterbitkan di Pulau Kabaena telah beroperasi, sementara sisanya bakal menyusul.

Sehingga, aktivitas pertambangan di Pulau Kabaena telah menyebabkan deforestasi besar-besaran.

Data menunjukkan sejak 2001 hingga 2022, sebanyak 3.374 hektar hutan, termasuk 24 hektar hutan lindung telah habis digunduli korporasi seperti PT Anugrah Harisma Barakah (AHB). Mereka menjadi salah satu perusahaan yang memberikan kontribusi terbesar dengan deforestasi seluas 641 hektar.

Sementara itu, PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) mencatat deforestasi sebesar 295 hektar dalam tiga tahun terakhir. PT TMS mengeruk hutan lindung yang menjadi sumber air utama bagi penduduk setempat.

Selain itu, ada 9 perusahaan yang terpantau melakukan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung diantaranya; PT Rohul Energi Indonesia, 3,450 ha masuk hutan lindung 0,51 ha, PT Anugerah Harisma Barakah 2.527 tumpang tindih 19,59 hektare, dan PT Tonia Mitra Sejahtera luas 5.891 ha yang tumpang tindih 740 hektar.

Baca Juga :  Komitmen Forum Jurnalis Ramah Pariwisata, Bagi Kemajuan Industri Pariwisata di Sultra

Kerusakan ini tidak hanya memengaruhi daratan, tetapi juga lautan. Sampel air yang diambil dari sungai dan laut di empat titik di Kabaena mengungkapkan kandungan logam berat seperti nikel, kadmium, dan asam sulfat yang melebihi batas aman. Limbah tambang ini mengalir ke laut, membunuh terumbu karang dan mencemari perairan di sekitar rumah-rumah panggung suku Bajau.

Di beberapa desa, air laut yang keruh menyebabkan gatal-gatal dan penyakit kulit serius di kalangan nelayan dan anak-anak. Penyakit ini masuk 10 besar keluhan masyarakat saat berkunjung ke Puskesmas.

Data menunjukkan, di Kabaena Induk pada tahun 2022 ada 95 kasus penyakit kulit, Kabaena Barat tahun 2023 ada 100 kasus, Kabaena Selatan terekap 102 kasus pada 2023. Ratusan kasus penyakit kulit di Pulau Kabaena tersebut diduga kuat disebabkan air yang kotor.

Pelanggaran, perbuatan melawan hukum selain menambang, merusak hutan lindung, pencemaran air laut, serta tidak melakukan kewajiban reklamasi pasca tambang, dan lainnya. Yang pada akhirnya areal hutan gundul, banjir, keruhnya air laut, masyarakat jadi korban.

Baca Juga :  Gelar Rapat Sosialisasi FKP3, Basarnas Kendari Libatkan Lima Pemerintah Desa di Kecamatan Lalonggasumeeto

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No 1/2014) melarang tambang di Pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km². Namun, di Pulau Kabaena, pelanggaran aturan ini terlihat jelas. Tambang-tambang nikel kini mendominasi pulau, menggusur hutan, mencemari laut, dan mengubah kehidupan masyarakat setempat.

“Pulau kecil mempunyai kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim dan masyarakat yang ada di pulau kecil tak punya diversifikasi pendapatan,” kata Hayaa dari Satya Bumi dalam keterangan tertulisnya yang diterima Sorotsultra.com pada Senin (9/9/2024).

Berikut daftar nama-nama perusahaan yang memiliki IUP di Pulau Kabaena;

1. PT Agrabudi Baramulia, 3.940 hektar.
2. PT Manyoi Mandiri, 1.731.62 hektar.
3. PT Timah Investasi Mineral, 300 hektar.
4. PT Trias Jaya Agung, 512 hektar.
5. PT Alhamrig, 2.018 hektar.
6. PT Margo Karya Mandiri, 2.128 hektar.
7. PT Tambang Bumi Sulawesi, 1.533 hektar.
8. PT Tekonindo, 531.3 hektar.
9. PT Bakti Bumi Sulawesi, 4.888 hektar.
10. PT Agra Morini Indotama, 1.026 hektar.
11. PT Agra Morini Indah, 2.834.96 hektar.
12. PT Anugrah Harisma Barokah, 2.527 hektar.
13. PT Tonia Mitra Sejahtera, luas 5.891 hektar. (RED)

Komentar

Berita Terkait