Sultra, Sorotsultra.com-Provinsi Sulawesi Tenggara atau dikenal dengan julukan Bumi Anoa dalam Satu Dasawarsa terakhir menjadi primadona bagi banyak pihak.
Ketertarikan para pihak ini bukan tanpa alasan, salah satu pemantiknya karena Sultra memiliki potensi sumber daya alam (SDA) berupa nikel yang melimpah ruah.
Tak ayal para pemilik modal berlomba-lomba untuk berinvestasi dengan angka yang sangat fantastis.
Seiring masifnya aktivitas penambangan yang dilakukan oleh para pemilik modal demi mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Disisi lain, ada banyak hal yang kemudian dinafikan dan menjadi korban. Seperti rusaknya lingkungan baik itu di darat maupun di laut. Dan itu terjadi di semua wilayah yang ada aktivitas penambangan nikelnya.
Salah satu wilayah yang menjadi contoh yakni Pulau Kabaena, sebuah pulau kecil yang indah di Sulawesi Tenggara, kini berubah menjadi zona merah. Tak ada lagi laut biru yang memantulkan cahaya matahari, tak ada lagi terumbu karang yang melindungi ikan, dan tak ada lagi hutan hijau yang menjadi benteng alam. Hanya ada kepulan debu tambang, air laut yang keruh, dan suara mesin berat yang terus menggerogoti tanah.
Di balik ekspansi tambang nikel global yang menggemborkan era kendaraan listrik, masyarakat adat suku Bajau yang menggantungkan hidup pada laut dan komunitas suku Moronene yang bergantung pada tanah, kini kehidupannya terancam.
Laporan terbaru yang dirilis oleh tim peneliti dari Satya Bumi dan WALHI Sulawesi Tenggara menyoroti kerusakan lingkungan yang signifikan di Pulau Kabaena akibat eksploitasi nikel yang masif. Laporan berjudul “Bagaimana Demam Nikel Menghancurkan Pulau Kabaena dan Ruang Hidup Suku Bajau” mengungkap dampak destruktif dari industri tambang terhadap ekosistem pulau, kesehatan masyarakat, dan kelangsungan hidup tradisional suku Bajau dan Moronene.
Pulau ini, yang seharusnya dilindungi, kini terkepung oleh tambang nikel. Peneliti Satya Bumi, Sayiidattihayaa Afra, mencatat sekitar 73%, yaitu 650 km² dari 891 km² total luas Kabaena, telah diserahkan kepada perusahaan tambang.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No 1/2014) melarang tambang di Pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km². Namun, di Pulau Kabaena, pelanggaran aturan ini terlihat jelas. Tambang-tambang nikel kini mendominasi pulau, menggusur hutan, mencemari laut, dan mengubah kehidupan masyarakat setempat.
“Pulau kecil mempunyai kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim dan masyarakat yang ada di pulau kecil tak punya diversifikasi pendapatan,” kata Hayaa dalam keterangan tertulisnya pada Senin (9/9/2024).
Seharusnya sumber daya alam yang melimpah harus memberi manfaat bagi semua orang. Faktanya hanya segelintir dan mayoritas adalah pemilik modal. Pertanyaannya, masyarakat dapat apa, peran pemerintah di mana? (RED)
Komentar