Masa Depan Industri Nikel Indonesia

Kendari, Sorotsultra.com-Pemerintah Indonesia saat ini sedang melakukan percepatan peningkatan nilai tambah untuk mineral, tak terkecuali pemanfaatan nikel sebagai komponen utama baterai mobil listrik. Program hilirisasi nikel menjadi pokok perbincangan di tataran pemangku kebijakan di negara ini. Pasalnya, salah satu langkah untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) Indonesia khususnya pada poin ketujuh yakni “Energi Bersih dan Terjangkau” adalah dengan mensubstitusi kendaraan berbahan bakar fosil ke listrik.

Diketahui bersama bahwa, banyaknya emisi karbon yang dihasilkan kendaraan berbahan bakar fosil saat ini akan berdampak pada pemanasan global yang berujung pada krisis iklim. Untuk itu, kendaraan listrik berbasis baterai yang tidak menghasilkan emisi karbon menjadi salah satu sumber energi bersih yang diandalkan di masa mendatang.

Untuk mewujudkan hal itu, maka perlu ada upaya bersama stakeholder terkait agar tujuan tersebut bisa tercapai. Salah satunya dengan pembangunan industri baterai listrik.

Menurut data International Energy Agency 2021, secara global terjadi peningkatan permintaan kendaraan listrik berbasis baterai yang cukup besar di mana tahun 2020 meningkat 43 persen dibandingkan 2019 dengan stok mobil listrik global mencapai angka 10 juta. Pada kuartal pertama tahun 2021, penjualan mobil listrik secara global naik sekitar 140 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2020, dengan 2 produsen tebesar yaitu China dan Eropa yang masing-masing mencapai angka penjualan sekitar 500.000 dan 450.000 kendaraan. Sementara itu, pada tahun 2020 juga terjadi peningkatan produksi baterai untuk mobil listrik sebesar 33 persen dibandingkan tahun 2019. 

Baca Juga :  Program Reklamasi PT GKP Didukung Penuh Pemda Konawe Kepulauan

Permintaan baterai untuk moda transportasi lain juga mengalami peningkatan sebesar 10 persen. Secara signifikan produksi baterai terus didominasi negara China dengan menyumbang lebih dari 70 persen kapasitas produksi sel baterai secara global. Menurut data Statista 2021, permintaan baterai diperkirakan akan meningkat dari 185 GWh di tahun 2020 menjadi 2.035 gigawatt hours (GWh) pada tahun 2030.

Peningkatan kendaraan listrik terus tumbuh secara masif ini dikarenakan keinginan masyarakat dan pemerintah untuk meningkatkan kualitas udara di negaranya dengan teknologi yang lebih maju dan ramah lingkungan. Bahkan saat ini pemerintah Indonesia sangat serius dalam hal ini, ditandai dengan ditandatanganinya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Melalui Kementerian Perindustrian, Indonesia sudah memiliki roadmap pengembangan mobil listrik yang dimulai sejak tahun 2020 dimana produksi mobil listrik dilakukan secara bertahap dari total produksi 1,5-4 juta unit mobil pertahunnya.

Seiring dengan kenaikan permintaan kendaraan listrik maka secara otomatis akan meningkatkan permintaan baterai. Baterai merupakan komponen kunci untuk kendaraan listrik. Komponen baterai berkontribusi sekitar 35-40 persen dari harga mobil listrik saat ini. Komponen biaya terbesar untuk pembuatan baterai mobil listrik adalah biaya materialnya yang mencapai kurang lebih 60 persen dari total biaya pembuatan baterai itu sendiri. Hal inilah yang membuat material bahan baku utama baterai menjadi vital untuk memenangkan persaingan industri baterai di masa mendatang.

Baca Juga :  Ini Deretan Prestasi Teguh Pristiwanto Selama 16 Bulan Menakhodai Polda Sultra

Salah satu komponen utama mobil listrik adalah baterai yang berasal dari bahan tambang seperti lithium, nikel, kobalt, mangan, dan alumunium yang digunakan sebagai bahan baku material katoda serta grafit sebagai material anodanya. Material katoda memberikan kontribusi paling tinggi terhadap harga sel baterai lithium yaitu sekitar ±34 persen. Bahan baku ini mayoritasnya didapat dari hasil pengolahan dan pemurnian nikel. Oleh karena itu, industri pengolahan dan pemurnian nikel sangat dibutuhkan sebagai dasar dari cita-cita besar ini.

Saat ini, pengolahan dan pemurnian nikel di Indonesia sebagai bahan baku baterai listrik telah dilakukan oleh beberapa perusahaan, salah satunya PT Halmahera Persada Lygend di Obi, Maluku Utara serta PT Huayue Nickel Cobalt dan PT QMB New Energy Material di Morowali, Sulawesi Tengah. Untuk mensuplai keberlangsungan industri tersebut, perlu adanya kepastian rantai pasok bijih nikel dari proses penambangan.

Peran perusahaan tambang juga menjadi penting di sini. Misalnya, pemasok bijih nikel untuk industri pengolahan nikel di Pulau Obi berasal dari beberapa wilayah penambangan baik dari satu pulau yang sama, yaitu PT Trimegah Bangun Persada, PT Gane Permai Sentosa, PT Jikodolong Megah Pertiwi, dan PT Obi Anugerah Mineral dan dari luar Pulau Obi yaitu, PT Gema Kreasi Perdana di Pulau Wawonii.

Baca Juga :  Sambut Bulan Suci Ramadhan, Masyarakat Desa Toolawawo Gelar Pawai Obor

Keterkaitan antar perusahaan juga akan mendukung tercapainya industri baterai listrik yang berkelanjutan. Kedepannya, di proyeksikan akan ada peningkatan permintaan logam nikel yang selama ini untuk bahan baku baja tahan karat, bergeser menjadi bahan baku baterai. (Rofingatun, Teknik Metalurgi ITB/RED)

Berita Terkait