Jakarta, Sorotsultra.com-Beberapa waktu yang lalu, publik dikejutkan dengan adanya kasus yang “diduga” kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Narasi maupun informasi yang beredar di media maupun media sosial memunculkan beragam spekulasi. Pada akhirnya salah satu pihak kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Bagi Jalastoria kesemuanya merupakan kompleksitas yang harus dilihat secara cermat, proporsional, dan adil, Sabtu (15/6).
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) harus dicermati secara hati-hati dan komprehensif. Harus ada komitmen serius dan keberanian untuk melihat dan mengekplorasi lebih dalam terhadap peristiwa-persitiwa yang menyertainya. Optik, perspektif dan analisis gender harus digunakan untuk membongkar secara tuntas bagaimana relasi kuasa (power relation) dan posisi dari para pihak (pasangan).
Melalui dua variabel tersebut maka kontekstualisasi kasus akan dapat dianalisis secara lebih jelas tidak saja pada saat kejadian (factum) atau pasca kejadian (post factum), namun juga lebih penting sebelum kejadian (pre factum). Hal ini akan sangat membantu proses pengungkapan kasus guna menemukan kebenaran materiil yang diharapkan.
Ketimpangan Relasi Kuasa dan Kekerasan.
Variabel penting dalam analisis gender adalah relasi kuasa yang akan sangat membantu dalam menjelaskan peran-peran dominan di satu sisi dan sub dominan disisi lain. Sudah jamak diketahui, dipahami bahkan diyakini dalam kultur masyarakat bahwa seorang perempuan yang juga seorang istri dan ibu memiliki kuasa yang lebih terbatas dibanding laki-laki.
Artinya dalam relasi personal suami istri ketimpangan atas relasi kuasa (power inbalance) itu terjadi dan berdampak. Sebagai sosok yang memiliki keterbatasan kuasa, perempuan cenderung tidak memiliki banyak alternatif maupun pilihan-pilihan menentukan tindakan atau mengambil keputusan berkaitan dengan rumah tangganya bahkan dirinya.
Berbeda dengan laki-laki yang sejak dilahirkan sudah dikonstruksikan sebagai pemegang previlege dan kuasa yang lebih besar, akan memiliki lebih banyak pilihan bahkan dapat menentukan apa yang dapat dipilih oleh istri dan anak-anaknya. Pemegang kuasa dalam keluarga itu sangat beresiko menyalahgunakan kuasanya untuk bebas melakukan apa saja termasuk kekerasan. Melihat pada konstruksi tersebut maka peristiwa-peristiwa sebelum terjadinya (pre factum) dugaan KDRT itu harus juga dilihat secara utuh dan cermat.
Pengalaman-pengalaman dari pihak-pihak harus menjadi dasar dari proses pemeriksaan lebih lanjut. Atas dasar itu sangat mungkin dalam hal ini perempuan/istri adalah subyek yang terdampak dari ketimpangan relasi kuasa yang berujung pada kekerasan.
Posisi Rentan Menjadi Korban.
Variabel kedua dalam optik gender untuk memahami kasus ini terkait dengan posisi (position) perempuan/istri dalam rumah tangga. Relasi intim dalam rumah tangga yang secara kultural dan faktual terbangun berdasarkan relasi kuasa yang timpang, berdampak pada posisi yang tidak setara.
Kesetaraan ini merupakan suatu konsep sekaligus nilai yang menekankan pada keadilan. Secara konteks hal tersebut akan tergambar pada kedudukan, fungsi dan relasi antara para pihak (suami-istri) dalam rumah tangga tersebut. Semakin setara maka akan ada kedudukan yang seimbang, fungsi-fungsi yang proporsional, serta relasi yang menggambarkan kesalingan.
Namun sebaliknya semakin posisi itu tidak setara, maka pola kedudukannya menjadi sub-ordinatif, fungsinya hanya formal pelengkap, dan relasinya adalah struktural (atasan bawahan). Ketidaksetaraan posisi akan berdampak pada kerentanan bagi subyek sub ordinat, pelengkap, dan struktur bawah. Posisi semacam ini sangat mungkin dialami oleh pihak yang memiliki keterbatasan (umumnya perempuan/istri).
Posisi rentan ini perlu untuk dilihat secara cermat sebagai aspek kausalitas atas dugaan kasus KDRT yang terjadi. Dalam berbagi situasi justru subyek yang berada pada posisi rentan ke posisi rentan menjadi korban.
Variabel kedua dalam optik gender untuk memahami kasus ini terkait dengan posisi (position) perempuan/istri dalam rumah tangga. Relasi intim dalam rumah tangga yang secara kultural dan faktual terbangun berdasarkan relasi kuasa yang timpang, berdampak pada posisi yang tidak setara.
Kesetaraan ini merupakan suatu konsep sekaligus nilai yang menekankan pada keadilan. Secara konteks hal tersebut akan tergambar pada kedudukan, fungsi dan relasi antara para pihak (suami-istri) dalam rumah tangga tersebut.
Semakin setara maka akan ada kedudukan yang seimbang, fungsi-fungsi yang proporsional, serta relasi yang menggambarkan kesalingan. Namun sebaliknya semakin posisi itu tidak setara, maka pola kedudukannya menjadi sub-ordinatif, fungsinya hanya formal pelengkap, dan relasinya adalah struktural (atasan bawahan).
Ketidaksetaraan posisi akan berdampak pada kerentanan bagi subyek sub ordinat, pelengkap, dan struktur bawah. Posisi semacam ini sangat mungkin dialami oleh pihak yang memiliki keterbatasan (umumnya perempuan/istri).
Posisi rentan ini perlu untuk dilihat secara cermat sebagai aspek kausalitas atas dugaan kasus KDRT yang terjadi. Dalam berbagi situasi justru subyek yang berada pada posisi rentan kerap menjadi korban (victim) atas diskriminasi dan kekerasan berulang.
Itu sebabnya variabel “posisi“ dalam optik gender ini dapat digunakan sebagai kerangka analisis pemeriksaan yang lebih komprehensif dan berkeadilan.
Berdasarkan uraian tersebut, Jalastoria menyatakan hal-hal sebagai berikut:
1. Prihatin atas kasus yang terjadi sekaligus menjadi momentum untuk membangkitkan kesadaran kolektif untuk mencegah KDRT.
2. Menghormati proses hukum yang sedang dijalankan dan mendorong adanya proses hukum secara komprehensif, progresif, humanis, dan berkeadilan.
3. Mendukung terhadap pihak-pihak yang melakukan pendampingan dan pemulihan.
4. Menghimbau kepada semua pihak untuk menahan diri dan berhati-hati dalam memberikan pernyataan yang menghakimi berdasarkan prinsip praduga tak bersalah (persumtion of innocent). (RED)
Komentar