Zero Tolerance Melawan Korupsi Sumber Daya Alam di Bumi Anoa

Kendari, Sorotsultra.com-Tindak Pidana Korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) tidak hanya merugikan secara finansial saja, melainkan berdampak luas pada kerugian Lingkungan Hidup yang menimbulkan masalah bagi manusia, bentang alam dan keanekaragaman hayati yang ada didalamnya.

Pertanyaannya, apakah kerugian lingkungan dapat dimaknai sebagai kerugian keuangan negara yang termaktub didalam Undang-Undang Tipikor, lalu bagaimana pembuktian kerugian lingkungan dan ekologis dari adanya aktifitas pertambangan, demi pengembalian aset pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Salah satu kegiatan pengelolaan hutan berasaskan manfaat dan lestari yaitu Penggunaan Kawasan Hutan (PKH). Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan (PNBP PKH) semakin meningkat karena jumlah usaha pertambangan di dalam kawasan hutan semakin banyak di Bumi Anoa saat ini, namun, hal ini telah berkontribusi dalam meningkatkan degradasi hutan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi kesesuaian model perhitungan tarif PNBP-PKH untuk pertambangan guna memaksimalkan peningkatan Pendapatan Negara dari sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan (PNBP-PKH).

Berkaca pada maraknya kasus korupsi disektor pertambangan dan lingkungan hidup yang saat ini sedang berjalan di pengadilan, hal ini seakan mengikrarkan bahwa korupsi dan potensi korupsi dalam pengelolaan SDA tergolong tinggi atau luas. Dimana terdapat kerugian Keuangan Negara yang diakibatkan oleh banyaknya perusahaan tambang yang masih belum membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan (PNBP-PKH) sebagaimana mestinya yang oleh aparat penegak hukum dipandang sebagai suatu tindak pidana korupsi.

Direktur Kasasi Law Firm Yedi Kusnadi, S.H., M.H, selaku praktisi hukum memberikan apresiasi penegakan hukum yang sudah dijalankan saat ini, namun, menurutnya orientasi penegakan hukum tindak pidana Sumber Daya Alam-Lingkungan Hidup (SDA-LH) belum mengarah pada upaya pemulihan, harusnya ini dilakukan dalam penanganan perkara tindak pidana SDA-LH, karena dampak yang ditimbulkan begitu besar pada kerusakan lingkungan.

Baca Juga :  Pemkot Kendari Maksimalkan Peran Penyuluh, Dalam Meningkatkan Produksi Hasil Pertanian

Untuk dapat menuntut perbaikan kerusakan lingkungan sebagai akibat dari tindak pidana SDA-LH, sebaiknya penegak hukum memanfaatkan pidana tambahan yang terdapat dalam Undang-Undang  No 39 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, hal tersebut dikarenakan perkara sumber daya alam sifatnya ekstraktif yang berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan.

Penanganan tindak pidana SDA-LH  memerlukan perlakuan khusus mengingat keluasan aspek-aspeknya yang tidak hanya menghendaki penghukuman tetapi juga mengupayakan pemulihan kerusakan lingkungan. Dengan itu, sebenarnya proses kelembagaan yang ada seharusnya mampu menjadi penunjang untuk pencapaian tujuan tersebut. Hal ini membuat arah perkembangan penegakan hukum SDA-LH yang terspesialisasi untuk memastikan pencapaian tujuan penegakan hukumnya.

Kerugian Lingkungan Hidup yang timbul mengakibatkan kerugian keuangan negara yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, dikarenakan adanya suatu pemahaman yang telah di bangun tentang perluasan makna kerugian keuangan negara melalui tiga metode penafsiran yaitu, sistematis, historis, dan ekstensif. Dalam hal pembuktian adanya kerusakan atau pencemaran lingkungan dapat di hadirkan ahli dalam bidang tersebut untuk menghitung kerugian lingkungan yang ditimbulkan akibat penerbitan ijin tambang secara melawan hukum yang mana terdapat suatu kerugian keuangan negara.

Pada praktiknya dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi aparat penegak hukum (APH) selalu menggunakan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-Undang tindak pidana korupsi yang memuat unsur “merugikan keuangan negara”. Namun, perlu diingat kembali hakikat dari pembentukan UU Tipikor itu sendiri adalah bagaimana cara agar penyelamatan atau pemulihan keuangan negara dapat dikembalikan seperti sedia kala, maka untuk dapat mengembalikan atau memulihkan keuangan negara tersebut sebaiknya dalam penegakan hukumnya seharusnya dapat diiringi dengan undang-undang pencucian uang.

Baca Juga :  81 Terduga Pelaku Pembakaran di Buton Berhasil Ditangkap

Dalam penegakan hukum Tipikor terdapat tiga tujuan yaitu menangkap pelaku tipikor, pencegahan tipikor, dan pengembalian aset tipikor (asset recovery). Maka ada beberapa solusi yang bisa ditempuh dalam pengembalian aset Sumber Daya Alam. Pertama, perlu ada regulasi baku tentang pengembalian/pemulihan aset (asset recovery) walaupun dimungkinkan ada penyitaan aset tersebut, didalam Pasal 90 (1) Undang-Undang No 39 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatakan, instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang diberi tanggung jawab pada bidang lingkungan hidup memiliki kewenangan untuk menggugat dengan gugatan ganti rugi dan perbuatan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.

Selanjutnya di Ayat 2 memaparkan bahwa terkait kerugian lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dirumuskan dengan Peraturan Menteri. Peraturan Menteri yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan. Namun hal tersebut tidaklah cukup efektif karena untuk dapat memulihkan suatu kerusakan lingkungan yang berimplikasi adanya suatu kerugian keuangan negara ataupun perekonomian negara tidaklah mudah. Maka dari itu sesegera mungkin dibentuk sebuah regulasi yang mengatur secara detail terkait dengan pengembalian/pemulihan aset (asset recovery) beserta sanksi pidana bagi yang melanggar regulasi tersebut.

Poin kedua, langkah koordinasi yang lebih dapat ditingkatkan dan diperkuat oleh pihak-pihak yang terkait seperti Kepolisian, Kehakiman, Kejaksaan, Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, dan dinas-dinas lainnya dalam proses penegakan hukum khususnya dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, dikarenakan memerangi korupsi tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Disharmoni antar lembaga yang memiliki kewenangan dalam memberantas korupsi akan melempemkan penegakan hukum tindak pidana korupsi. Ketiga, yang paling penting adalah Aparat Penegak Hukum baik itu Kepolisian, Kejaksaan maupun KPK dapat melakukan monitoring terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang difokuskan dalam pelaksanaan rencana aksi atau kegiatan.

Baca Juga :  Jalin Kemitraan Bersama BNNP Sultra, Pemkot Kendari Luncurkan Program Layanan Rehabilitasi Pecandu Narkotika

Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan wilayah dengan sumber kekayaan SDA yang melimpah, dan saat ini tengah menjadi perhatian investor. Harusnya penegakan hukum dipraktikkan, jangan dibiarkan begitu saja SDA kita dinikmati secara koruptif oleh para mafia. Maka dianggap perlu KPK membentuk unit khusus yang ditugaskan melakukan pengawasan dan penindakan. Keempat, lembaga yang berkewenangan lainnya secara aktif mendorong upaya peningkatan integritas serta membentuk sistem pencegahan korupsi pada pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam.

Selanjutnya poin kelima, keterlibatan masyarakat dalam mempressure isu korupsi SDA. Jangan ragu dan takut untuk melaporkan. Jika dibiarkan mereka merampok kekayaan SDA kita, maka itu sama saja kita melemahkan ketahanan negara. Dan poin terakhir, pada momentum Hari Anti Korupsi Sedunia tahun ini marilah kita bangkitkan kesadaran zero tolerance melawan korupsi. Semua elemen bangsa harus berbuat. Jauhi korupsi, kembangkan pola edukasi masyarakat, laporkan dan terus pantau. Pemberantasan korupsi dalam aspek sumber daya alam merupakan hal penting. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya menjadikan potensi perbuatan penyalahgunaan wewenang menjadi lebih besar. (RED)