Mari Ciptakan Pemilu 2024 yang Damai dan Sejuk

Kendari, Sorotsultra.com-Pemerintah dan DPR telah menyepakati pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) digelar serentak pada 2024 mendatang.

Pencoblosan untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden dijadwalkan pada 21 Februari. Sementara penyelenggaraan pilkada serentak dilakukan pada 27 November.

Dalam Pilkada 2024 mendatang akan diikuti oleh semua daerah dengan rincian 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota.

Lantas, apakah partisipasi masyarakat untuk menyalurkan hak politiknya pada Pemilu 2024 akan sangat tinggi dibanding Pemilu 2019?.

Secara nasional peningkatan partisipasi pemilih melonjak cukup tinggi dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Misalnya pada Pemilu 2014 lalu tingkat partisipasi pemilih untuk pemilihan presiden mencapai 69,58 persen dan pemilihan legislatif 75,11 persen.

Sementara di Pemilu 2019 tingkat partisipasi untuk pemilihan presiden meningkat sampai 81,97 persen begitupun dengan pemilihan legislatif meningkat sampai 81,69 persen. Pencapaian itu adalah kabar baik untuk penyelenggara pemilu, karena mampu melewati batas minimal target partisipasi nasional di angka 77,5 persen. Tentu dua perhelatan pesta demokrasi di tahun 2014 dan 2019 menjadi barometer penyelenggara saat ini untuk menggaet pemilih di Pemilu 2024 nanti.

Baca Juga :  KN SAR Pacitan Berhasil Evakuasi 26 Penumpang Kapal Ambulans yang Alami Baling-baling Patah di Teluk Moramo

Namun, disisi lain ada persoalan yang harus dituntaskan KPU. Di tengah kesadaran masyarakat terhadap hak demokrasi pemilu sudah sangat tinggi, ternyata belum berimbang dengan kematangan dan kedewasaan pemilih dalam menyikapi perbedaan pilihan. Dampaknya adalah fanatik berlebihan terhadap pilihannya dan budaya sikap polos yang akut dalam menerima berita dan informasi yang belum jelas kebenaran faktanya.

Akhirnya, berdampak pada nuansa demokrasi yang tidak lagi dihadirkan dengan narasi yang santun dan sejuk. Masyarakat sebagai pemilih terpecah kedalam kelompok yang semakin hari semakin menguat dan kokoh. Figur pilihannya dihadirkan sebagai sosok “suci” yang sempurna, sementara pilihan lain diwujudkan dalam sosok yang sangat antagonis dan penuh dengan “dosa”.

Sikap fanatik berlebihan seperti ini dialami bukan hanya oleh masyarakat akar bawah yang berpendidikan rendah, namun kaum elit pun ikut saling menyulut dan menyikut. Akhirnya sulit membedakan mana berita dan informasi faktual dan mana berita hoax. Semua yang diberitakan baik terhadap figur pilihannya akan dinilai sebagai fakta, begitupun sebaliknya.

Baca Juga :  Jelang Pemilu 2024, Kadin Siap Dukung Polda Sultra Jaga Kamtibmas

Tentu saja ini menjadi pekerjaan rumah bersama, khususnya penyelenggara pemilihan. Bagaimana menciptakan pendidikan pemilih yang ramah dan menyentuh langsung terhadap pemilih, agar mampu menghadirkan narasi demokrasi menjadi narasi yang selalu menarik, seru, ramai namun tetap sejuk dan nyaman diikuti. Mari kita bersama-sama menciptakan Pemilu 2024 yang damai dan sejuk.
(Asmin Mangidi/RED)