Kendari, Sorotsultra.com-Dinasti politik adalah strategi untuk mempertahankan kekuasaan agar tetap berada dalam lingkaran keluarga. Dinasti politik cenderung memunculkan multiplikasi aktor (aktor-aktor yang muncul hanya di kalangan dinasti saja), bukan pluralisme aktor (aktor-aktor yang muncul cenderung variatif dari berbagai latar belakang). Dinasti politik sebetulnya merupakan perwujudan dari neopatrimonial. Regenerasi kekuasaan tidak dilakukan melalui penunjukan seperti dalam masyarakat patrimonial, akan tetapi melalui demokrasi prosedural. Pimpinannya dipilih rakyat, namun persoalannya yang menentukan siapa calonnya adalah partai politik, Selasa (5/12/23).
Mengapa dinasti politik merebak di Indonesia? Melihat Indonesia tak dapat dilepaskan dari daerah. Daerah-daerah dengan keragaman nilai-nilai budaya lokalnya memberikan nuansa yang berbeda. Namun demikian, satu hal yang sama, hampir tak ada satu pun daerah yang terbebas dari warisan nilai-nilai feodalisme, praktik patrimonialisme, patronase, dan ciri-ciri masyarakat komunal yang cenderung sangat permisif.
Menurut Weber, patrimonialisme adalah sistem pemerintahan yang didasarkan kepada personel administrasi dan militer yang bertanggung jawab hanya kepada penguasa. Sementara neopatrimonialisme adalah bentuk modern dari bentuk aturan campuran patrimonial tradisional. Disini, elemen-elemen patrimonial dan birokrasi yang rasional hidup berdampingan dan saling terkait.
Dalam konteks di Indonesia, warisan sistem nilai yang ada tak seluruhnya bisa dieliminasi ketika demokrasi diterapkan di negeri ini sejak era reformasi dikumandangkan tahun 1998 silam. Konsekuensinya, dinasti politik mendapatkan peluangnya di era demokrasi, justru karena demokrasi yang diterapkan di Indonesia sifatnya sangat prosedural dan cenderung mencerminkan model mix/hybrid system.
Dalam sistem patrimonial, semua hubungan kekuasaan, baik politik maupun administrasi, merupakan hubungan yang bersifat personal. Tidak ada perbedaan antara sektor privat dan publik. Dalam sistem neopatrimonial, meskipun secara teori ada pembedaan antara sektor privat dan publik, realitasnya seringkali sulit dibedakan. Terjadi sistem campuran dan hubungan yang bersifat pribadi dan legal rasional.
Dalam kasus di Indonesia, beberapa daerah cenderung rentan mempraktikkan dinasti politik karena kegagalan daerah dalam membangun demokrasi yang menguatkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yang partisipatif, transparan, dan akuntabel. Anehnya, distorsi tersebut bukannya diperbaiki segera justru terkesan dibiarkan sehingga terjadi akumulasi yang cukup serius dan daya rusaknya semakin nyata, bahkan, dinasti politik ini bak virus menyebar hampir ke seluruh wilayah di Indonesia.
Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, kasus dinasti politik era pilkada langsung pada periode 2005-2014 ada 60 (11) persen. Jumlah tersebut cenderung meningkat selama 2015-2018 menjadi 117 (21,5) persen dan tahun 2020 bertambah menjadi 175 (32) persen. Persyaratan pelaksanaan pemilu/pilkada yang demokratis dan berkualitas harus memenuhi beberapa hal, penyelenggaranya (KPU dan Bawaslu) harus profesional dan independen/netral secara politik (tidak partisan). Pengawasannya efektif sehingga pelanggaran dan penyimpangannya sangat minim.
Selain itu, diperlukan beberapa hal penting yang pertama, partai politik sebagai peserta pemilu/pilkada mengikuti peraturan dan tidak menghalalkan semua cara (politik kongkalikong, beli suara) untuk menang. Kedua, institusi penegak hukum fungsional, profesional, dan tidak partisan. Ketiga, masyarakat (pemilih) cerdas, mereka memilih bukan karena dimobilisasi dan dibayar. Keempat, biaya pilkada tidak mahal mulai dari pencalonan, kampanye sampai sengketa pilkada. Kelima, birokrasi tidak diintervensi/dikooptasi oleh calon dalam pemilu/pilkada, dan birokrasi tidak terkotak-kotak oleh kepentingan para calon. Keenam, para kandidat berkampanye secara bertanggung jawab/berkualitas, tidak melakukan kebohongan publik. Ketujuh, pemilu/pilkada tidak berakhir dengan konflik bernuansa kekerasan atau chaos. Dan kedelapan, hasil pilkada berkorelasi positif terhadap terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dan menghasilkan pemerintahan yang governability.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden kami nilai telah membuka ruang bagi terjadinya praktek politik dinasti. Drama itu mencapai puncaknya tatkala Putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres. Olehnya itu, mahasiswa dan rakyat harus berani melawan politik dinasti guna menyelamatkan bangsa ini dari resesi demokrasi.
Maka dengan ini kami dari Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Sulawesi Tenggara (AMARA) menyatakan sikap;
1. Menolak politik dinasti.
2. Tuntaskan seluruh pelanggaran HAM
3. Selamatkan demokrasi dari oligarki dan tirani.
4. Tegakkan keadilan hukum tanpa intervensi. (RED)