Smelter Nikel HPAL, Teknologi Pengolahan Nikel yang Ramah Lingkungan

Konkep, Sorotsultra.com-Indonesia menjadi salah satu negara produsen komoditas nikel terbesar dunia. Di tahun 2021 saja, Indonesia berhasil memproduksi nikel sebesar 1 juta ton. Kenaikan jumlah produksi tersebut tidak terlepas dari teknologi berbasis pirometalurgi dan hidrometalurgi yang digunakan Indonesia saat ini.

Teknologi pirometalurgi atau biasa kita sebut smelting (peleburan) sudah digunakan di PT Antam yang menghasilkan Fe-Ni, PT Vale yang menghasilkan Ni Matte, dan PT IMIP yang menghasilkan NPI. Akan tetapi, proses tersebut memerlukan energi yang sangat tinggi dan hanya bisa mengolah bijih nikel tipe saprolit.

Untuk mengatasi hal tersebut, saat ini tengah dikembangkan teknologi hidrometalurgi, salah satunya adalah fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel dengan menggunakan proses hydro metalurgi atau dikenal dengan smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL). Teknologi ini mampu mengolah bijih nikel kadar rendah (limonite nickel) dengan kebutuhan energi yang lebih kecil. HPAL sendiri melibatkan proses pelindian pada temperatur dan tekanan yang tinggi (240-270°C, 33-55 atm). Teknologi ini pertama kali diterapkan di Cuba pada tahun 1959 dan tahun 2000 oleh 2 perusahaan yang berbeda, kemudian tiga perusahan di Australia mulai menggunakan teknologi ini pada tahun 1988-1999, bahkan perusahaan dari Filipina.

Baca Juga :  IRT di Desa Tondowatu Konut, Ditangkap Polisi karena Edarkan Sabu

Dari semua proyek tersebut, hanya di Cuba dan Filipina yang berhasil mengoperasikannya dengan baik. Sumitomo, perusahaan investasi bisnis dan perdagangan global asal Jepang di Pulau Palawan telah menggunakan teknologi HPAL generasi ketiga, dan berhasil menyempurnakan teknologi sebelumnya dengan sangat baik.

Teknologi generasi ketiga ini telah mengadopsi sistem pengendalian lingkungan yang efektif, yang ditandai dengan lebih sedikitnya jumlah sisa proses yang dibuang jika dibandingkan dengan proses teknologi generasi HPAL sebelumnya, termasuk proses peleburan. Karena efektivitasnya dalam pengendalian lingkungan, teknologi HPAL generasi ketiga ini dikenal juga dengan sebutan “Proses Hijau”.

Di Indonesia, teknologi ini telah dikembangkan dan diimplementasikan. Teknologi HPAL dari China berhasil dikembangkan di Pulau Obi dibawah PT Halmahera Persada Lygend (HPL), salah satu perusahaan milik Harita Nickel yang saat ini sudah beroperasi dengan kapasitas pengolahan pabrik sebesar 8,5 juta ton bijih nikel. HPAL yang dikembangkan menggunakan teknologi generasi ketiga yakni, generasi versi terbaru dan tercanggih.

Dengan kapasitas pengolahan pabrik sebesar 8,5 juta ton bijih nikel per tahun, PT HPL menghasilkan produk akhir berupa nikel sulfat (Ni SO4.7H2O) dan kobalt sulfat (CoSO4.7H2O) yang kadar Ni dan Co masing-masing 20 dan 21 persen.

Baca Juga :  Aksi Cabul Seorang Kakek Terhadap Cucunya Sendiri

Dengan kapasitas yang besar tersebut, diperlukan pula pasokan bijih yang besar pula. Pasokan bijih nikel untuk PT HPL saat ini berasal dari PT Trimegah Bangun Persada, PT Gane Permai Sentosa, PT Jikodolong Megah Pertiwi, PT Obi Anugerah Mineral, dan PT Gema Kreasi Perdana.

Dengan adanya teknologi HPAL ini, diharapkan Indonesia mampu untuk menjaga komitmen dalam memproduksi nikel dengan cara yang efektif, efisien, dan tentunya ramah lingkungan demi visi pembangunan berkelanjutan. (Rofingatun, Teknik Metalurgi ITB/RED)

Berita Terkait